Mati Suri

Standard

 

Entah mengapa, malam ini aku menerima kembali email dari wordpress. Di dalam email tersebut dijelaskan baaku bisa mengganti kembali passwordku dengan paswword baru dengan mengikuti link yang telah disediakan. Lucu, karena setelah hampir 4 tahun blog ini mati suri, tiba-tiba ada sentilan untuk memulai kembali.. 🙂

Dalam email yang dikirim kembali oleh wordpress, terlihat seolah wordpress sedang mengalami masalah teknis mengenai password sejak beberapa waktu yang lalu. Membaca email tersebut sangat menyenangkan, karena tidak ada sindiran ataupun paksaan untuk kembali aktif ngeblog. Yang ada justru kesan bahwa WordPress sempat lalai, namun berusaha memperbaiki kesalahannya. Aku tidak tahu apakah memang benar ada kesalahan seperti itu, atau ini hanya undangan menulis kembali. Apapun maksud dari wordpress pada kala mengirim email seperti itu, aku bisa menerimanya dengan sangat baik.

Aku sempat berpikir, apakah mungkin brand-brand lain di Indonesia dapat meniru cara wordpress dalam membangkitkan keinginan untuk mencoba lagi produk mereka bagi para lapsed usernya.

Mungkin email wordpress cuma sekedar pengingat saja buatku, setelah sekian lama keinginan menulis cuma tersalurkan secara offline. Maka sekarang, kita lihat saja berapa lama aku bisa bertahan untuk kembali menghidupkan nafas “thecozycorner” ini.. 🙂

Say “No!”

Standard

Semua orang pada dasarnya pasti punya ketakutan ditolak dari hal yang disukainya,

kita semua takut kalau suatu hari akan kehilangan orang yang kita sayangi, barang yang kita sukai atau ide yang kita usulkan tidak diterima oleh lingkungan sekitar kita. Ada beberapa orang yang sangat ketakutan sampai-sampai tidak mau bersikap santai dan menjadi posesif atau pencemburu, ada orang yang berusaha tenang sebagai usaha defensif atas perasaan takut kehilangannya tapi malah kebablasan sehingga menjadi terlalu cuek.

Padahal, kata seorang teman, “ada pertemuan, ada perpisahan”. Klise sih, tapi, yah..memang begitu kan?

Buatku, masalah utamanya bukan saat moment kehilangan itu terjadi..tapi lebih ke saat penolakannya. Pada saat itu kebanyakan orang akan berpikir tidak cukup “pantas” atau tidak cukup “baik” untuk diterima,, dan mereka akan sedih..

Padahal tidak begitu kok..

Setiap orang adalah kepingan puzzle, dan dunia adalah gambaran dari puzzle yang begitu besaaar..Ketika kita ditolak karena kepingan puzzle kita tidak cocok dengan sekeliling kita, yang seharusnya dikerjakan adalah mencari tempat yang cocok, dan mencari tempat yang cocok dengan kepingan puzzle itu sangat panjang dan kadang kurang menyenangkan kalau seseorang berpikir pesimis dan luar biasa menantang kalau kamu orang yang berpikir positif.

Dunia sekarang sedang tidak sebaik atau sebagus biasanya karena orang-orang yang terluka tidak mencari tempatnya masing-masing yang tepat lagi.

well,hufh! sebetulnya hari ini baru kehilangan “waktu dan persahabatan” dengan seseorang yang sangat lembut..dan rasanya sangat aneh, kosong, dan sedikit sedih..bukan cuma karena dia orang yang menyenangkan, tapi karena aku merasa ditolak, dan itu berarti aku harus berjalan “keliling dunia” untuk mencari atau mungkin menarik dan mengumpulkan orang-orang dengan kepingan puzzle yang tepat lagi di tempat-tempat baru,, perjalanan yang pasti menyenangkan, dan sesuai dengan do’a

LifebuoyHealthCamp2007

Standard

80 orang dokter kecil dari 20 sekolah dasar terbaik se-Jawa di kumpulkan oleh Lifebuoy untuk mengikuti acara kemping sehat di daerah Situ Gintung, di Kampung Jurang Doank. Semua anak terlihat senang sekali mengikuti acara yang berlangsung selama 2 hari dari tanggal 14-15 November itu. Seorang murid sambil tersenyum lebar mengaku sedikit kesulitan menjawab beberapa pertanyaan dari beberapa pos dalam rangkaian game, namun dengan matanya yang lebar, dia segera menyebut tantangan flying fox di pos flu burung adalah tantangan yang paling disukainya. Saking sukanya, beberapa anak malah dengan sengaja menaiki flying fox.

Acara yang dibuka oleh perwakilan dari Menkokesra ini berjalan meriah tidak hanya untuk murid-muridnya, tapi juga untuk para guru yang mendapat penyuluhan dari Dr. Hendrawan Nadesul.  Para guru di bawah saung dengan semilir angin sejuk melakukan outbond sambil saling berbagi ilmu tentang kesehatan.

Ny Tati Fauzi Bowo menutup acara dalam gerimis hujan diikuti senyum anak-anak yang puas bermain dalam acara ini.

Swim on a Happy Sunday!

Standard

sewaktu hari minggu kemarin aku berenang enak bgt di Yasmin sport center, bogor.

Kaporitnya banyak banget >.<, auch!eh, mereka punya keran berbentuk lumba-lumba lho di kamar gantinya!! lucuu..

overall, It felt so great coz I hadn’t go to the swimming pool for several months.

I thought every swimmer is a dreamer,

because..

when you are on the pool you’d feel the strange feeling of half flying,

and you’re going to feel so light,

which going to make a butterfly on your stomach.

The atmosphere is becoming even more wonderful,,

when you’re swimming on the sea!!

Share me your favorite swimming pool and I would try them,

and, of course, thanks you so much 🙂

Resume Buku Tipping Point, Malcolm Gladwell

Standard

Gladwell, Malcolm. 2002. Tipping Point. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
(Cetakan kedua, dengan isi 260 halaman.)
Resume:
Tipping Point adalah saat ajaib ketika sebuah ide, perilaku, pesan, dan produk menyebar seperti wabah menular. Sama seperti satu orang sakit dapat menyebabkan epidemi flu, begitu pula sentilan yang disasar dengan tepat dapat menyebabkan terjadinya tren fesyen, popularitas sebuah produk baru, atau menurunnya tingkat kriminalitas secara drastis. Buku Best Seller yang telah ditulis oleh Malcolm Gladwell menyelidiki dan secara brillian menjelaskan fenomena Tipping Point, telah mengubah cara berpikir orang di seluruh dunia tentang memasarkan suatu produk dan menyebarkan ide.
Gladwell memperkenalkan kita pada tipe-tipe kepribadian orang yang secara alami mampu bertindak sebagai penyebar ide dan tren baru, orang-orang yang menciptakan fenomena word of mouth atau ketok tular. Ia menganalisis tren-tren dalam dunia mode, merokok, acara televisi untuk anak-anak, direct mail, dan hari-hari pertama Revolusi Amerika untuk menemukan petunjuk-petunjuk tentang cara membuat sebuah ide menjadi sangat menular. Ia juga mengunjungi sebuah komunitas religious, sebuah perusahaan teknologi tinggi yang sukses, dan salah seorang penjual terbesar di dunia untuk menunjukkan cara memulai dan mempertahankan epidemi social.
Tipping Point merupakan kisah petualangan intelektual yang ditulis dengan semangat yang mudah menular dalam menggali kekuatan dan kebahagiaan dari berbagai ide baru. Yang paling penting, buku ini juga sebuah peta penunjuk jalan menuju perubahan, dengan sebuah pesan penuh harapan bahwa orang imajinatif, asalkan memasang tuasnya di tempat yang benar, tidak mustahil mampu menggeser bumi dari kedudukannya alias mengubah dunia.
Untuk mengenali Tipping Point lebih jauh, pertama-tama kita harus memahami epidemi terlebih dahulu. Karena Tipping Point adalah suatu epidemi sosial. Dan pada dasarnya suatu hal dinyatakan sebagai epidemi bila dia memiliki tiga kaidah khusus.
Tiga Kaidah Epidemi adalah : bersifat menular, perubahan kecil entah bagaimana membawa perubahan besar, dan ketiga, perubahannya tidak bertahap tetapi dramatis. Epidemi sangat terpengaruh oleh situasi, yaitu oleh keadaan, dan kondisi lingkungan kejadian. Epidemi itu sendiri adalah sebuah fungsi yang memiliki beberapa unsur yakni: orang yang bertindak sebagai agen penginfeksi, agen penginfeksi itu sendiri, dan lingkungan tempat beroperasinya agen penginfeksi. Dan ketika sebuah epidemi meledak, ketika keseimbangan tiba-tiba terganggu, ketika eskalasi meningkat setelah suatu kejadian, suatu perubahan telah terjadi pada satu (atau dua atau tiga) unsur tadi. Ketiga unsur perubahan ini disebut ”Hukum tentang Yang Sedikit”, ”Faktor Kelekatan”, dan ”Kekuatan Konteks”.
Hukum tentang Yang Sedikit: Keberhasilan suatu epidemi social sangat bergantung pada keterlibatan orang-orang yang memiliki seperangkat keterampilan sosial langka. Orang-orang ini adalah Para penghubung (Connectors), Para Bijak Bestari (Mavens), dan Para Penjaja (Salesmen). Kelebihan mereka ada dalam cara mereka bergaul, semangat hidup, dan keterampilan mempengaruhi orang lain.
Para penghubung atau The Connector adalah orang-orang dengan bakat khusus yang memungkinkan orang sedunia saling berhubungan. Kriteria pertama seorang Penghubung adalah bahwa mereka mengenal banyak orang. Mereka jenis orang yang kenal dengan semua orang. Setiap epidemi membutuhkan peran penghubung. Mereka dapat dengan mudah mendapatkan kepercayaan orang lain, dan mudah menghafal nama dan karakter orang. Mereka tidak akan malu untuk berkenalan atau memulai pembicaraan dengan teman yang sudah sangat lama tidak bertemu atau orang yang baru saja mereka kenal.
Sementara Maven, berasal dari bahasa Yiddish, yang artinya adalah orang yang pintar atau orang yang memiliki pengetahuan sangat luas. Para Maven disini bukan pengumpul informasi yang pasif, juga bukan orang yang terobsesi pada suatu hal hingga menghafal setiap detail tentang hal tersebut. Para Maven adalah orang yang mempunyai informasi mengenai banyak produk, harga, atau tempat yang berbeda-beda. Orang ini senang membuka pertanyaan sesama konsumen dan bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Mereka senang menolong orang dan seringkali motivasi mereka bersifat sosial. Maven adalah seseorang ayng selalu ingin menolong orang lain, umumnya lewat memecahkan masalahnya sendiri. Para Maven memiliki pengetahuan dan keterampilan sosial untuk memicu epidemi ketok tular. Kendati demikian, buakn banyaknya pengetahuan yang mereka miliki melainkan cara mereka menyebarluaskan pengetahuan itu. Kenyataan bahwa para Maven selalu ingin membantu, dengan alasan hanya karena ingin membantu, bisa menjadi cara yang efektif skali untuk membuat orang lain tertarik.
Di sisi lain juga ada Salesman, yaitu orang-orang yang memiliki kemampuan membujuk yang sangat hebat, dan mampu mempengaruhi orang lain tanpa orang lain itu sadari. Para salesman ini mampu menjelaskan dengan logis alasan kenapa mereka menginginkan sesuatu dan mengapa mereka patut mendapatkannya. Dan orang yang diajak bicara tidak akan merasa dipaksa atau tersinggung karenanya. Hal tersebut sudah sangat natural untuk dilakukan oleh para salesman ini.
Selain orang-orang tersebut juga ada situasi yang memungkinkan epidemi terjadi. Situasi tersebut mengandung sesuatu yang bernama faktor kelekatan dan kekuatan konteks.
Faktor Kelekatan: ada sejumlah cara tertentu untuk membuat sebuah kesan mudah menular dan terus diingat; ada perubahan yang meskipun sederhana sekali baik dalam cara menyajikan maupun cara menyusun informasi yang dapat menghasilkan perbedaan besar dari segi dampaknya. Faktor kelekatan menyiratkan perubahan atau aksi harus langsung dan berulang-ulang, karena untuk memicu epidemi, gagasan harus mudah diingat dan merangsang orang untuk berbuat sesuatu. Sayangnya di abad informasi ini, segala sesuatunya telah banyak diulang dan hal ini menimbulkan masalah pada faktor kelekatan.
Kekuatan Konteks : Adanya sifat masyarakat untuk memiliki “masalah kecenderungan menjadi penonton” atau bystander problem. Dengan kata lain, kemampuan seseorang untuk memiliki tanggung jawab tergantung pada beberapa jumlah orang yang berada bersamanya pada saat suatu peristiwa terjadi. Kekuatan konteks mengatakan bahwa dibanding kelihatannya, orang sesungguhnya jauh lebih peka terhadap lingkungan sekitar. Kekuatan konteks mebicarakan bagaimana suatu lingkungan mempengaruhi sesorang. Seperti halnya teori broken windows dimana dalam teori tersebut, terdapat suatu ide bahwa kejahatan-kejahatan kecil yang biasa dilakukan oleh seseorang akan mengarahkan orang tersebut ke kejahatn yang lebih besar dan semakin besar. Namun sebenarnya teori broken windows tersebut tidak hanya berlaku untuk kasus kejahatan saja.
Kekuatan Konteks juga membicarakan tentang Angka Seratus Lima Puluh yang Ajaib, yakni suatu anggapan bahwa jumlah maksimal karyawan atau anggota di suatu organisasi adalah 150. Jumlah yang lebih daripadanya akan menimbulkan kerenggangn diantara karyawan dan memecah nilai kekeluargaan dan keefektifan di dalamnya. Jika jumlah karyawan di perusahaan Anda mencapai lebih dari 150, pecahlah atau kembangkanlah perusahaan tersebut menjadi dua bagian perusahaan baru yang terpisah.
Kesimpulannya, Tipping Point adalah penegasan kembali tentang adanya potensi untuk berubah dan dahsyatnya suatu langkah yang tepat. Walaupun dunia kelihatan mustahil untuk dirubah, namun dorongan yang ringan di tempat yang tepat mampu membuat apapun dapat kita ungkit.
Komentar:
Buku favorit saya ini sebenarnya memaparkan teori yang tidak terlalu populer di Indonesia. Tapi teori yang dikemukakan sangatlah benar dan brilian. Buku ini memberitahu kepada kita kunci untuk menyebarkan trend yang dapat digunakan oleh civitas PR, dan dunia komunikasi serta masyarakat luas.
Terlebih, buku ini memberikan banyak contoh-contoh yang memang sengaja tidak saya masukkan kedalam resume. Setiap contoh yang dibeberkan akan menguatkan contoh sebelumnya, dan memberikan pemahaman lebih kepada kita akan teori yang telah dijabarkan sebelumnya.
Dengan demikian buku ini dapat digunakan untuk dibaca sehari-hari ataupun dipakai dalam penelitian ilmiah. Saya sangat menyarankan Anda untuk membaca buku ini secara langsung dan menikmati pembahasannya yang ditulis dengan ringan dan menarik.

a glance of PR

Standard

 

 

  1. Definition of research and evaluation

Research is the controlled, objective and systematic gathering of information for the purpose of describing and understanding. In other words, it is the scientific approach to answering questions, providing more reliable answers in most situations than authority, personal experience, and historical precedent. People who do research want to know something, to understand what is happening. They want to learn in such a way, however, that they themselves have confidence in the answers and that others will accept the answers as valid and reliable. As a result, the researcher has confidence that the findings accurately reflect reality, not just the researcher’s perception of reality.

 

Evaluation is determining the worth of something. It happens all the time and in all programs. What is really needed, however, is evaluation research to add objective feedback on program impact to the subjective assessment and informal research now used to judge program effectiveness. Evaluation research uses scientific procedures to collect, analyze, and interpret information to help determine the worth of something. The emphasis here is on “help” because research findings are only one of many factors that go into deciding the worth of public relations effort. At the most general level, evaluation uses information from many sources—including research findings—and judgment. Judgment also includes a large number of factors—past experience, perceived constrains, values, and even estimates of what important others think about the program.

 

  1. The role of research in PR

One of the most important roles of PR is in policy formulation. The basis is an understanding of what the public is thinking or feeling. This is a primary function. The principle role is to act as listening posts in which research is a major tool.

Benefits of a research:

a. To understand what the problem. The problem should be thoroughly understood and research is the best tool for developing the understanding.

b. To create a PR program to deal with the problem. The research will serve as a test to see whether your program is making the difference. This test will serve to fine-time the program to see whether it needs to be improved.

c. To see if you have solved the problem or you have been overwhelmed by a new problem.

Conclusion: A research has a crucial role to play in every step in the understanding of problem, creation of the program, and monitoring of the outcome of that problem.

 

  1. The need for research and evaluation

Today’s PR practitioner operates in a challenging and shifting environment. Private and public sector organizations face growing pressure to be more accountable. They are subject to an unprecedented level of public and media scrutiny and, with the proliferation of media and free movement of traffic on the internet, are often confused about the nature, identity and location of their target audiences. In this context, it has never been more crucial to properly plan and target campaigns—yet time and time again organizations are willing to waste money with a scattergun approach.

 

  1. Why measure PR?

PR is about helping organizations achieve success in their business or public services role. PR does that by helping to build relationships between organizations and their audiences and stakeholders. Measurement helps companies manage those relationships effectively. Expenditure on PR and measurement is an important should be more than simply a demonstration of PR effectiveness. It should be an inseparable part of the planning process of every PR campaign.

Because measurement of PR effectiveness is an aid to planning and decision making, it tells you what worked and what didn’t, and what to do differently next. Thus it can save time and money.

It is widely advocated that an equivalent of 10 per cent of the PR budget should be allocated to research and evaluation.

 

  1. Using research to plan program

An accurate description of the setting for most PR work is that few situations are simple and the only constant is change. The more complex and dynamic your organization’s environment becomes, the more important it is to use research for planning PR programs. New publics form around new issues. Coalitions of publics tip the balance of power on old issues. Old publics split as interest change. About the time you think you understand what is happening, things change. In short, PR operates in an unsettled and untidy setting.

A research is essential for planning a PR program to provide the information necessary for

1. Defining the problem

2. Identifying the publics

3. Writing the goals and objectives

4. Selecting the program strategies

Note: without a solid foundation of research, decisions are made on the basis of individual intuition and experience. Even the collective intuition and experience of the management team is no substitute for research findings that describe the specific condition affecting the relationship between an organization and its publics.

Creative and artistic decisions employing all the intuition and experience you can invite are then made in the context of a strategic plan based on research.

 

  1. Using research to monitor program

You use research to document and monitor the program. Certainly, your need to document the program for accountability motivates the research, but your primary purpose is to track program implementation in order to make needed program adjustment. Documentation produces an accurate record of what was done, where it was done, when it was done, and to whom it was done, so that you later describe exactly what the program included. Documentation also systematically calls your attention to how the program is being implemented and how closely it conforms to the strategic plan. Monitoring, along with measures of who the program is reaching with what effects, provides the basis for modifying the plan.

 

There are two uses of research for monitoring program implementation. First, the performance of program staff is documented for later evaluation along with program impact or effectiveness. Second, the program activities themselves are monitored for the purpose of detecting implementation problems that call for program adjustment.

In short, research is used to monitor PR programs in order to make adjustment and to do document what was being implemented.

Why wait until the program is complemented to do research? If you do, isn’t it often too late to make changes if it is not working? If you use research to monitor the program in progress, then you avoid the risk of wasting resources that do little to change the problem situation.

 

  1. Using research to evaluate program

Evaluation is determining the worth of something. It happens all the time and in all programs. But what is really needed is evaluation research. Evaluation research uses scientific procedures to collect, analyze, and interpret information to help determine the worth of something.

The emphasis here is on “help” because research findings are only one of many factors that go into deciding the worth of public relations effort. At the most general level, evaluation uses information from many sources—including research findings—and judgment. Judgment also includes a large number of factors—past experience, perceived constrains, values, and even estimates of what important others think about the program. So rather than mislead you by suggesting that research findings are omnipotent when it comes to program evaluation, we want to be candid about the complexity of both the evaluation context and task. But, if you don’t have the power and authority to assert and make stick your individual assessment of program worth, then it is rational to approach program evaluation as an applied research task. The research assessment is to find empirical evidence to replace or rebut assertions about what the program did or did not accomplish.

 

  1. Using research to plan, monitor and evaluate program

If you use research to plan, monitor, and evaluate programs, you add to your understanding of what works and what does not work under various conditions. In other words, through a series of field experiments, you test and revise your working theory. Impact measures also provide the information needed to help judge program effectiveness and efficiency. In the long term, what you learn from each field experiment adds to the body of knowledge guiding your practice and increases your professional competence. In the short term, you learn how well and why your program worked.

 

  1. What’s the different between qualitative and quantitative research?

There are 3 broad categories of research which can be used as an aid to evaluation: 

  1. Formative research to help program development, to establish measures for assessment or progress, and to refine objectives.

  2. Diagnostic research to provide measure of progress, or to modify activities, if necessary, during program implementation.

  3. Evaluation research to establish whether or not results have been achieved per objective.

 

Qualitative research : A subjective, in-depth study probing people’s attitudes and behaviour patterns. Qualitative research can be conducted through discussion groups or on a one-to-one basis. It is invaluable for moving understanding of communications issues from the preconceptions of the client and PR practitioner to the reality of what the target audience actually believes. Such information is useful to feed in to the planning process to define the communications issues and to test concepts and materials. It requires a skilled researcher to conduct and analyze the results. Qualitative research is often “teamed” with quantitative research, the latter adding statistical validity to qualitative findings.

Quantitative research : An objective study in which the same questions are asked of a representative sample of a defined population—such as all UK adults or mobile phone users. Qualitative research is often used to identify issues that can be measured or validated through quantitative research. As a representative sample of 200 might be sufficient; for others, 1000 might be needed to provide reliable results. A professional researcher will advise on sample size.

 

Note: Qualitative and quantitative research is examples of primary or original research.

Qualitative and quantitative research:

  1. Each has its strength and weaknesses

  2. Each has different approaches to scientific observations.

  3. In qualitative /intensive observation, only a few cases are examined, but in great detail

  4. In quantitative/extensive observation, a large number of cases are examined but not in great detail.

 

The differences;

Qualitative

  1. Intensive Observation and Useful to define PR problems.

  2. A few cases are examined and has Soft Data

  3. examined in great detail and Unstructured

  4. difficult to achieve reliable sampling and Explotary

  5. Inspire little confidence and Valid but less reliable

 

Quantitative

  1. extensive observation but Useful to represent majority.

  2. A large number of cases and has Hard data

  3. Examined in general form so it is Highly structured

  4. Suited for representative sampling and Explanatary

  5. Sufficient number, permit confidence and also Valid and reliable

 

  1. The 6 stages of PR planning program

  1. Appreciating the situation

  2. Define the Objectives

  3. Define the Public

  4. Media selection and Technique

  5. Gantt Chart and Budgetting

  6. Result assessment Evaluation

 

 

  1. The 5 steps of PR planning program

  1. Audit

  2. Objectives

  3. Strategy & plans

  4. Measurement & Evaluation

  5. Result

 

  1. Communication Audit

Is a broad scale, loosely structured research exercise, which examines the effectiveness of communications within organizations and between organizations and groups outside.

Culture Shock, What is it?

Standard

 

What is Culture?

It is the coherent, learned, and shared view of a group of people, about life’s concerns that ranks what is important, furnishes attitudes, about what things are appropriate, and dictates behavior.

Since culture is learnable, People now study about culture. Why? People started to learn it because we are in the era of globalization. There are challenges of diversity. We are going to meet lots of different culture. The only way to deal with the challenges of diversity is by living your own culture and cooperates with the new culture. However, you cannot cooperate with the new culture if you don’t now those culture. And you might get the culture shock, once you are living in the new culture.

 

What is culture shock?

It is the four stages we are going to get through when we facing the new culture. It is:

  1. Euphoria, the feeling of excitement. You probably would feel so excited meet something new than your own culture. They do looks more excited than yours at the first time.

  2. Disillusionment and Frustration, This is the stage where people start to realize that the new culture needs adjustment, but they are not ready to do this adjustment. You would probably miss your culture’s food or people. What would people do? They would leave from the foreign culture and go back to their former culture or struggle to overcome the situation. Few people who choose to struggle would go to the next stage of culture shock.

  3. Adjustment. You started to adapt the new culture by make yourself comfort with it.

  4. Integration, the stage where you can fully understand the culture, and how to cooperate with it without loosing your identity.

If someone had live in other’s culture in quiet a long time, they would get a reverse culture shock. Reverse Culture Shock is a moment where the culture shock appears again when someone who had adjusted to others culture, return to his or her own culture.

 

That’s make another reason for us to learn more about culture, specially if we are going travel abroad to other’s foreign country with the foreign culture.

si Pemalas

Standard

 

Selamat datang di pertunjukan kami!

Disini,

Harga diri boleh mati…

Gengsi tak akan cukup membuat kantung-kantung perut melembung kenyang

Dunia ini terlalu sepi dengan bukan basa-basi

Aku tak lagi boleh peduli, begitu juga..

kamu

Karena hanya ingin kenyang yang menyerabut dengan saraf di otak

Pikiran lain hanya semu bayang-bayang yang menguap cepat

Aku lapar, boleh bicara soal makanan dan uang tanpa usaha lagi?

 

Bogor, 11 Desember 2006

Kumpulan Basa Basi

Standard

Termangu aku dalam kotak kosong…

Sudah hilang semua harga diri,

Tapi toh kini tak lagi ada yang peduli

 

Mengalirlah memoar cerita tentang seorang putri yang hidup bahagia selamanya

Dalam sebuah istana yang membuat semua terpana

Dengan istal dan kuda-kuda gagah mereka

Dengan sang pangeran tampan yang tak bisa ditembus api

Raja dan permaisuri yang bijak dan berbahagia

Serta tikus-tikus kecil di gudang lumbung padi emas mereka

 

Tapi kenapa semua harus bahagia?

Mana nyawanya?

Bukankah hidup hanya sebuah perjalanan

 

Bukan sekedar tawa canda dan bahagia

Hidup hanya perjalanan

Menembus pikir kita tentang sedih, duka dan senang ria

Lalu apa ujung jalan kita..?

 

Tak ada lagi zona nyaman di titik khayal batas diriku

Hanya kotak kosong yang tak bisa kutinggal pergi

Dan satu perut lapar tanpa harga diri

 

Lucu mengingat bagaimana orang menyamakan harga diri dengan nilai kehidupan. Semua orang berpikir bahwa keduanya sama. Mereka bilang pelacur tidak punya harga diri. Padahal tidak semua begitu. Beberapa lacur dengan harga diri tinggi menaruh nilai hidup mereka pada titik dimana orang lain tak bisa melihatnya. Keluarga mereka, misal. Tapi tak ada kebenaran yang absolut. Semua hanya kata-kata yang terjungkal keluar dari sel kelabu di kepala yang sok pintar.

 

Seperti seorang pujangga yang bersyair tentang omong kosong yang tak ia mengerti.

Hilang sudah harga diri dari nilai yang lampau

Kenapa kini aku harus bangkit?

…..Salah!…….

Pertanyaan yang salah!

Bagaimana caraku bangkit?

Nilai-nilai….Kucari nilai hidupku hingga mengiba..

Tapi bukan ini saat untuk menyerah, karena hidup tanpa kata menyerah memberi kita satu tambahan nyawa lagi untuk tertawa dan bertahan tak jadi gila.


Mungkin itu sebabnya kucing tak lagi punya 9 nyawa?

 

Bogor, 11 Desember 2006

Payung Kuning si Anak Perempuan

Standard

Di tengah hutan dengan daun yang keemasan, hiduplah seorang anak perempuan berambut hijau yang hidup di rumah kayu yang nyaman dengan orangtuanya yang baik hati.
Anak perempuan ini senang bermain dimana-mana. Dia bermain di atas gunung, di tengah hutan, di tepi danau, dan di bawah pelangi. Lalu setelah puas bermain, si anak perempuan ini akan pulang ke rumah sebelum langit mulai gelap.
Suatu hari Ibu si anak perempuan ini membelikannya payung berwarna kuning. Konon, mulai besok, hujan akan turun dan sang ibu tidak mau anaknya jatuh sakit karena kehujanan. Maka, sejak hari itu, si anak perempuan selalu bermain dengan membawa payung kuningnya.
Tapi suatu hari, ketika si anak perempuan sedang asyik bermain, angin bertiup sangat kencang. Phsyuu…. Phsyuuu…..dan gawat!! Si payung kuning terbang tertiup angin lalu payung itu terbang ke awan, dan tidak turun-turun lagi dari awan.
Wah! Si anak perempuan sangat khawatir dengan payungnya. Maka dia mulai bertanya pada batu.
“Hai Batu!Bagaimana ya cara mengambil si payung kuning yang terbang ke awan?”Tanya si anak perempuan.
Batu pun menjawab.“Oh, kau harus terbang ke awan dengan balon merah besar.”
“Tapi,” kata si anak perempuan. “Aku tidak punya balon merah besar.”
Batu menjawab lagi.“Tapi si bunga biru punya kok.”
Maka si anak perempuan itu pun mencari bunga biru.
Setelah mengatakan keinginannya, bunga biru memberikan permen karet merah dan tali hitam. Lalu bunga biru menyuruh anak perempuan tersebut pergi ke pohon paling besar di hutan.
Pohon yang besar itupun segera meniup permen karet tersebut menjadi balon merah yang besar..besAAR.. dan BESAAR! Setelah itu sang pohon balon merah dengan pita hitam.
Si anak perempuan pun memegang erat-erat pita hitam, dan wuzz! Balon merah itu terbang tinggi ke awan.
Sesampainya di awan, anak perempuan itu kaget sekali. Ternyata di atas awan ada banyak sekali payung yang tersangkut karena tertiup angin.
Dengan teliti, si anak perempuan mencari payung kuningnya di tengah-tengah tumpukan payung di atas awan… Dan..,ketemu! Hore!
Maka si anak perempuan melepas balon merah dengan pita hitam naik ke arah matahari. Lalu si anak perempuan meluncur turun dengan payung kuningnya.
Hari itu mereka sampai di rumah dengan bahagia.